Tema Sinode Diosesan VII KAM adalah: “Gereja KAM Berjalan Bersama untuk Mendengarkan, Meneguhkan, Mewartakan.” Tema ini lahir dari pengalaman pastoral Gereja KAM, refleksi atas perjalanan tujuh tahun pelayanan Uskup Agung Medan, Mgr. Kornelius Sipayung, OFMCap, serta dialog dengan dinamika Gereja universal.
Tahun 2025 ini juga bertepatan dengan peringatan 10 tahun ensiklik Laudato Si’ yang menegaskan pentingnya pertobatan ekologis. Karena itu, tema sinode tidak hanya menegaskan dinamika iman dan pastoral, tetapi juga menjadi undangan untuk mendengarkan jeritan bumi, meneguhkan komitmen ekologis umat, serta mewartakan Injil dalam kesatuan dengan seluruh ciptaan.
Mendengarkan (Auditus Fidei)
Mendengarkan adalah pintu sinodalitas. Paus Fransiskus menegaskan: “Sinode adalah jalan mendengarkan: umat mendengarkan para gembala, para gembala mendengarkan umat, dan semua mendengarkan Roh Kudus.”Dengan semangat ini, Sinode Diosesan VII mengajak Gereja KAM memperdalam budaya mendengarkan: dari stasi terpencil hingga pusat kota, dari keluarga hingga kaum muda, dari kelompok
marginal hingga kaum profesional. Mendengarkan berarti membuka diri, menampung jeritan, harapan, dan inspirasi umat, untuk ditimbang dalam terang Roh Kudus.
Dalam terang Laudato Si’, mendengarkan juga berarti memberi perhatian pada “jeritan bumi dan jeritan orang miskin” (LS 49). Gereja KAM dipanggil untuk menaruh telinga pada penderitaan akibat krisis lingkungan: banjir, longsor, deforestasi, polusi, dan ketidakadilan ekologis yang paling dirasakan oleh kaum miskin. Dengan demikian, mendengarkan tidak berhenti pada suara umat, tetapi juga mencakup suara ciptaan yang menderita.
Meneguhkan (confirmatio)
Mendengarkan yang sejati berbuah dalam peneguhan. Lumen Gentium (23) menegaskan peran uskup untuk discernere – membedakan, menguji, dan meneguhkan yang baik. Dengan itu, yang subur dikuatkan, yang lemah ditopang, yang tercerai disatukan. Sinode VII menjadi sarana untuk meneguhkan iman umat, memperkuat prakarsa pelayanan yang hidup, dan mengarahkan seluruh karya pastoral agar lebih partisipatif, solider, dan akuntabel.
Dalam terang Laudato Si’, peneguhan berarti meneguhkan umat dalam pertobatan ekologis:menguatkan prakarsa lingkungan yang sudah ada (misalnya gerakan tanam pohon, energi ramah lingkungan, pengelolaan sampah), menopang kelompok yang rapuh akibat dampak krisis iklim, serta menyatukan seluruh umat dalam komitmen menjaga bumi sebagai rumah bersama. Dengan demikian, Sinode VII meneguhkan Gereja KAM agar berani melahirkan spiritualitas ekologis yang nyata dalam tindakan pastoral.
Mewartakan (proclamatio)
Buah terakhir dari mendengarkan dan meneguhkan adalah pewartaan. Santo Paulus menegaskan, “Celakalah aku jika aku tidak memberitakan Injil” (1Kor 9:16). Pewartaan Injil adalah identitas hakiki Gereja (bdk. Evangelii Nuntiandi 14). Maka, Sinode Diosesan VII mengutus Gereja KAM untuk mewartakan sukacita Injil di tengah keluarga, dunia pendidikan, pekerjaan, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan dunia digital. Dengan demikian, Gereja KAM tampil sebagai Gereja sinodal yang misioner, saksi Kristus di tengah masyarakat plural.
Peringatan Laudato Si’ memperluas horizon pewartaan ini. Mewartakan Injil kini berarti juga mewartakan komitmen ekologis: Injil yang peduli pada keutuhan ciptaan, yang membela kaum miskin yang terdampak perubahan iklim, dan yang mengajak semua orang untuk hidup sederhana. Pewartaan menjadi profetis ketika Gereja KAM berani menyerukan keadilan ekologis, mempromosikan gaya hidup berkelanjutan, dan menghadirkan Injil sebagai kabar gembira bagi seluruh ciptaan.

