Makna Teologis Sinode dalam Gereja

Sinode, yang berasal dari kata Yunani synodos (berjalan bersama), adalah ekspresi paling otentik dari jati diri Gereja sebagai umat Allah yang berziarah dalam sejarah menuju kepenuhan Kerajaan Allah. Paus Fransiskus menegaskan bahwa sinodalitas adalah “jalan yang Allah harapkan dari Gereja abad ketiga” (Discourse, 17 Oktober 2015). Dengan demikian, sinode tidak boleh dipahami sebatas rapat, forum administratif, atau instrumen teknis untuk menyusun rencana kerja pastoral. Ia adalah peristiwa iman, sebuah kairos di mana seluruh umat membuka telinga, hati, dan akal budi untuk mendengarkan Roh Kudus yang berbicara dalam peristiwa zaman.

Alkitab menunjukkan bahwa sejak awal Allah memimpin umat-Nya dalam semangat sinodalitas. Israel berjalan bersama dalam padang gurun menuju Tanah Terjanji, dengan tiang awan dan tiang api sebagai tanda kehadiran Allah (Kel. 13:21–22). Yesus sendiri membentuk komunitas para murid yang hidup bersama, berjalan dari kota ke kota, mewartakan Kerajaan Allah. Sesudah kebangkitan-Nya, Gereja perdana melanjutkan dinamika ini. Kisah Para Rasul 15 memberi kita teladan pertama dari “sinode Yerusalem”, di mana para rasul dan penatua bersama-sama berdoa, berdiskusi, dan mengambil keputusan demi kebaikan umat beriman.

Dari perspektif teologi, sinode adalah ruang partisipasi seluruh umat Allah dalam misi Kristus. Konsili Vatikan II, khususnya Lumen Gentium 12, menegaskan bahwa Roh Kudus membimbing seluruh umat beriman, bukan hanya hierarki. Setiap orang yang
dibaptis menerima sensus fidei (indera iman) dan karenanya mampu berkontribusi bagi peneguhan iman Gereja. Sinode menjadi kesempatan untuk menghidupkan karisma itu secara kolektif.

Tahun 2025 juga menandai peringatan 10 tahun ensiklik Laudato Si’ yang ditandatangani Paus Fransiskus pada 24 Mei 2015. Ensiklik ini menegaskan bahwa seluruh umat manusia dipanggil untuk bertobat secara ekologis, sebab “jeritan bumi dan jeritan orang
miskin adalah satu dan sama” (LS 49). Dalam terang itu, makna teologis sinode kini diperkaya dengan dimensi ekologis: berjalan bersama bukan hanya dengan umat Allah, tetapi juga dengan seluruh ciptaan, menuju pemulihan rumah bersama.

Sinode Diosesan sebagai Perwujudan Sinodalitas

Dalam Gereja Katolik, sinode dapat diadakan pada tingkat universal, nasional, provinsi gerejawi, hingga keuskupan. Sinode Diosesan menempati tempat yang istimewa, karena ia merupakan sarana resmi di mana Uskup Diosesan bersama umatnya mencari kehendak
Allah demi pertumbuhan Gereja setempat. Kanon 460–468 dalam Codex Iuris Canonici menegaskan bahwa Sinode Diosesan adalah forum konsultatif yang membantu Uskup dalam menegaskan arah pastoral keuskupan.

Bagi Keuskupan Agung Medan, Sinode Diosesan VII adalah kesempatan untuk memperbarui arah pastoral dalam terang pengalaman hidup umat. Dengan konteks kemajemukan budaya, dinamika ekonomi, serta perubahan sosial yang cepat, Gereja KAM dipanggil untuk semakin hadir sebagai sakramen keselamatan dan tanda persaudaraan sejati di tengah bangsa Indonesia. Dalam kerangka Laudato Si’, hal ini berarti juga menghadirkan Gereja yang berani bersuara terhadap krisis ekologis dan berperan aktif dalam merawat keutuhan ciptaan.

Sinode Diosesan VII juga menjadi sarana konkret untuk melaksanakan ajaran Gaudium et Spes 1: “Sukacita dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman ini, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, adalah juga sukacita dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus.” Pada tahun peringatan Laudato Si’ini, duka dan kecemasan itu termasuk juga krisis ekologis: perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan ketidakadilan ekologis. Maka, keputusan sinodal bukan hanya jawaban internal Gereja, tetapi juga jawaban atas jeritan dunia, jeritan bumi, dan masyarakat luas.

Kesinambungan Sinode Diosesan di Keuskupan Agung Medan

Sejak Sinode Diosesan I hingga VI, Keuskupan Agung Medan telah menapaki jalan panjang sinodalitas. Sinode sebelumnya menegaskan identitas Gereja KAM sebagai Gereja yang misioner, yang menaruh perhatian pada pendidikan iman, pelayanan sosial, pemberdayaan umat, dan keterlibatan dalam masyarakat. Namun, setiap sinode juga menyadarkan kita bahwa Gereja harus selalu semper reformanda: senantiasa diperbaharui dalam Roh Kudus.

Sinode Diosesan VII merupakan mata rantai dalam sejarah ini. Ia hendak merefleksikan kembali capaian dan kelemahan masa lalu, mengolah pengalaman pastoral, serta menatap masa depan dengan harapan baru. Dengan visi “Menjadi Oase Ilahi di Tengah Dunia”, Gereja KAM hendak tampil sebagai tempat penyegaran rohani, pusat pengharapan, dan sumber inspirasi bagi umat serta masyarakat luas. Visi “oase” ini kini semakin relevan dalam terang Laudato Si’: Gereja dipanggil menjadi oasis ekologis yang menyejukkan bumi dan masyarakat yang haus akan keadilan ekologis.

Kesinambungan ini penting, sebab Gereja bukan sekadar lembaga yang membuat rencana lima tahunan, melainkan tubuh mistik Kristus yang hidup, yang bertumbuh secara organis dalam sejarah. Apa yang diputuskan dalam Sinode VII adalah buah dari perjalanan iman sebelumnya, sekaligus benih bagi generasi yang akan datang.

Hubungan dengan Sinode Para Uskup Sedunia

Saat ini Gereja universal sedang menghidupi dinamika Sinode Para Uskup 2021–2024 dengan tema “Untuk Gereja Sinodal: Persekutuan, Partisipasi, Misi”. Paus Fransiskus menekankan tiga kata kunci: communio, participatio, dan missio. Gereja diajak untuk keluar dari pola lama yang klerikal dan eksklusif menuju budaya mendengarkan, dialog, dan keterlibatan umat.

Dalam terang itu, Sinode Diosesan VII KAM menjadi partisipasi lokal dalam arus besar Gereja universal. Proses mendengarkan umat, musyawarah pastoral, dan pengambilan keputusan bersama bukanlah sekadar kebijakan lokal, tetapi bagian dari gerak Roh Kudus yang bekerja di seluruh dunia. Dengan cara ini, Gereja KAM menyumbangkan pengalaman lokalnya pada khazanah Gereja universal, sekaligus diperkaya oleh dinamika global Gereja. Peringatan Laudato Si’ meneguhkan bahwa kontribusi lokal KAM juga harus mencakup kesaksian ekologis bagi Gereja universal.

Sinode sebagai Jalan Pertobatan Pastoral

Akhirnya, Sinode Diosesan VII KAM hendak meneguhkan jalan pertobatan pastoral. Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium 25 menyerukan perlunya “pembaruan misioner yang tidak dapat ditunda lagi.” Pertobatan ini bukan pertama-tama soal strategi atau metode, melainkan soal hati: meninggalkan pola pikir lama yang tertutup dan eksklusif, menuju pola pikir baru yang dialogis, terbuka, dan berani berinovasi demi Injil.

Bagi Gereja KAM, pertobatan pastoral berarti:
a. Mengutamakan suara kaum miskin, lemah, dan tersingkir (KLMTD).
b. Membuka ruang partisipasi kaum muda, keluarga, awam profesional, dan kaum religius.
c. Menjadikan Gereja sebagai rumah bersama, di mana semua orang merasa didengarkan, diteguhkan, dan dikuatkan dalam iman.
d. Menyegarkan semangat misioner, agar umat Katolik berani hadir di ruang publik, politik, sosial, budaya, dan ekologis.

Dalam konteks 10 tahun Laudato Si’, pertobatan pastoral ini berarti pula pertobatan ekologis: mengubah gaya hidup konsumtif menjadi sederhana, mengutamakan solidaritas ekologis, dan menjadikan keadilan lingkungan sebagai bagian integral dari misi Gereja.

Sinode sebagai Tindakan Iman

Sinode bukanlah peristiwa organisatoris belaka, melainkan tindakan iman. Dengan berkumpul dalam doa, musyawarah, dan discernment, Gereja KAM sedang menanggapi undangan Roh Kudus untuk bertobat dan diperbaharui. Sinode adalah ruang di mana fides quaerens intellectum (iman yang mencari pengertian) diwujudkan secara nyata dalam hidup bersama.

Sebagaimana ditegaskan dalam Episcopalis Communio (2018), sinode adalah peristiwa di mana Gereja mendengarkan Allah melalui sabda-Nya, mendengarkan umat Allah melalui pengalaman mereka, dan akhirnya membedakan kehendak Allah demi keselamatan dunia. Sinode adalah ungkapan nyata dari iman yang hidup, yang membuka diri pada misteri Allah yang terus berkarya dalam sejarah.
Peringatan Laudato Si’ memperkaya tindakan iman ini: Gereja menyadari bahwa karya keselamatan Allah mencakup pula ciptaan, sebab Kristus adalah “yang sulung dari segala ciptaan” (Kol. 1:15).

Hubungan dengan SAGKI V 2025

Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia V (2025) menegaskan tema: “Berjalan Bersama sebagai Peziarah
Pengharapan: Menjadi Gereja Sinodal yang Misioner untuk Perdamaian.” Tema ini semakin meneguhkan keterhubungan Sinode Diosesan VII KAM dengan arah pastoral Gereja di Indonesia.

Dengan demikian, Sinode VII bukanlah sekadar agenda birokratis, melainkan jalan rohani bagi seluruh Gereja KAM untuk diperbarui oleh Roh Kudus, agar semakin serupa dengan wajah Kristus, Sang Gembala Agung yang datang “bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mat. 20:28). Dengan peringatan Laudato Si’, jalan rohani ini juga menjadi peziarahan ekologis: perjalanan Gereja KAM yang membawa harapan bagi dunia, perdamaian bagi masyarakat, dan kesegaran bagi bumi yang terluka.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini